LANDASAN HISTORIS PENDIDIKAN
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Landasan Pendidikan
Dosen Pembimbing :
Drs. Dharma Kesuma, M. Pd
Ari Rahmat, S. Pd
Disusun oleh :
Kelompok 3
* Abdul Syukur. Z (0907435)
* Ardiyansyah Eky
* Ayu (0902743)
* Naufal Rizqan. F (0905750)
* Ilham Fahmi (0900215)
* Saim Hidayat (0900661)
JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada zaman sekarang tentunya tidak akan ada sebelum adanya Pendidikan pada zaman – zaman terdahulu, proses sistem Pendidikan yang ada sekarang adalah merupakan hasil dari proses sejarah bahwa Indonesia sejarahnya telah mengalami berbagai penjajahan dari Nagara – Negara lain, seperti Belanda, Jepang, Iggris, dan lain – lain. dan setelah Negara – Negara tersebut kalah, mereka meninggalkan banyak budaya maupun aturan – aturan yang diantaranya
adalah Pendidikan.
Dengan demikian, makalah ini disusun untuk mengetahui bagaimana sejarah Pendidikan yang ada di Indonesia ini. sehingga tebentuk sistem atau aturan – aturan dalam Pendidikan yang ada sekarang.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibaha dalam Makalah ini adalah:
1. Bagaimana Pendidikan pada Zaman Hindu/Budha ?
2. Bagaimana Pendidikan pada Zaman Islam ?
3. Bagaimana Pendidikan pada Zamann Pendudukan Asing ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, selain untuk memenuhi salah satu tugas, tetapi juga untuk:
1. Memahami dan mengerti Pendidikan pada zaman Hindu/Budha.
2. Memahami seperti apa Pendidikan pada zaman Islam.
3. Mengetahui dan mengerti Pendidikan pada zaman Pendudukan Asing.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Zaman Hindu/Budha
Pada masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain. Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas belajar seperti ruang diskusi dan seminar.
Dalam perkembangannya, kebudayaan Hindu-Budha membaur dengan unsur-unsur asli Indonesia dan memberi ciri-ciri serta coraknya yang khas. Sekalipun nanti Majapahit sebagai kerajaan Hindu terakhir runtuh pada abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuannya tetap berkembang khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum. Beberapa karya intelektual yang sempat lahir pada zaman ini antara lain:
1. Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019)
2. Bharata Yudha karya Mpu Sedah (Kediri, 1157)
3. Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125)
4. Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh
5. Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125)
6. Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389)
7. Arjunawijaya karya Mpu Tantular (Majapahit, ibid)
8. Sotasoma karya Mpu Tantular, dan
9. Pararaton (Epik sejak berdirinya Kediri hingga Majapahit).
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para murid disini selain belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan bahwa:
1. Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi;
2. Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain;
3. Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu;
4. Pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya masing-masing.
B. Pendidikan Zaman Islam
Sejak abad ke-7 M, lalu lintas perdagangan laut internasional yang melewati wilayah nusantara sudah ramai (dikenal sebagai jalur perdagangan “Po-ssu” atau Persia). Daerah-daerah pesisir yang kala itu merupakan vassal (bawahan) dari kerajaan inti yang terletak di pedalaman, menjadi tempat persinggahan yang menarik bagi para pedagang dari banyak negeri seberang seperti Arab, Persia dan India. Nilai-nilai baru yang dibawa para pedagang muslim semisal dari Gujarat diterima hangat oleh raja-raja pesisir. Sebagaimana kemudian tercatat bahwa kerajaan-kerajaan Islam permulaan di Indonesia muncul di daerah pesisir seperti kerajaan Perlak (1292) dan kerajaan Samudera Pasai (1297). Dari sini pula dapat terbaca bahwa penyebaran Islam di Indonesia bermula dari pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir Sumatera Utara (jalur Selat Malaka) baru kemudian menyebar ke Jawa dan seterusnya ke wilayah Timur Indonesia.
1. Inti Ajaran Islam
a. Islam Sebagai Ajaran Tauhid
Tauhid yaitu suatu keyakinan bahwa Tuhan itu Esa segala – galanya, Esa dalam dzat-Nya, Esa dalam sifat-Nya, Esa dalam Wujud-Nya, Esa dalalm perbuatan-Nya. Allah merupakan satu – satunya Tuhan pencipta, penguasa dan pemelihara alam semesta. Allah tempat meminta makhluk-Nya, Allah tidak beranak (melahirkan) dan tidak diberanakan (dilahirkan), tidak satupun yang mampu menyamai-Nya.
Allah Esa dalam dzat-Nya artinya bahwa dzat Allah itu satu, tidak terbilang dan tersusun dari unsur – unsur atau elemen – elemen yang berbeda. Allah Esa dalam sifat-Nya artinya bahwa Allah memiliki sifat – sifat kesempurnaan dan keutamaan yang disebut Asmaul Husna.
b. Manusia adalah Sama disisi Allah SWT
Agama Islam mengajarkan persamaan dan persaudaraan diantara sesama manusia. Agama yang tidak membedakan sntara golongan bangsawan dan rakyat jelata. Semua manusia adalah sama – sama makhluk Allah, yang dipandang lebih diantara sesamanya hanyalah karena Keimanan dan Ketaqwaannya kepada Allah SWT. Ajaran Islam mengemukakan bahwa seseorang baru dikatakan Beriman dan Bertaqwa kepada Allah, apabila ia telah dapat mencintai orang lain sebagaimaa ia mencintai dirinya sendiri.
c. Iman, Islam dan Ikhsan
Sebutan Islam bukanlan nama yang diberikan oleh pemaluk agama Islam, melainkan diberikan oleh Allah SWT, yang tercantum dalam kitib suci Al-Qur’an (Al-Imran: 19 dan 85; Al-Maidah: 3). Ajaran Islam dibangun atas tiga ajaran pokok, yaitu :
1) Iman
Iman ialah mempercayai akan adanya Allah SWT. mempercayai terhadap Malaikat – Malaikat Allah, Kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, adanya Rasul – Rasul Allah sejak Nabi Adam as sampai Rasul terakhir yaitu Nabi Muhammad saw. dan percaya akan adanya hari akhir dan pembalasan, serta yang terakhir percaya akan adanya qadar (ketentuan dari Allah) baik yang baik maupun yang tidak baik. Itulah tadi yang disebut dan lebih dikenal dengan istilah Rukun Iman.
2) Islam
Islam ialah megabdikandan menyerahkan diri hanya kepada Allah dan tidak menekutukan-Nya dengan apapun dan siapapun, melaksanakan Shalat, mengeluarkan Zakat, melaksanakan Ibadah Puasa (Saum) di bulan Ramadhan, dan melakukan Ibadah Haji bagi mereka yang mampu untuk melakukannya.
3) Ikhsan
Yang dimaksud dengan Ikhsan adalah bahwa manusia mengabdikan diri atau menyerahkan kepada Allah seperti kita melihat Allah, seperti kita berhadapan dengan Allah. Namun apabila kita tidak melihat Allah secara fisik, sebenarnya Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui terhadap apa yang diperbuat oleh manusia.
2. Pendidikan
Pendidikan Islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui interaksi inter-personal yang berlangsung dalam berbagai kesempatan seperti aktivitas perdagangan. Da’wah bil hal atau keteladanan pada konteks ini mempunyai pengaruh besar dalam menarik perhatian dan minat seseorang untuk mengkaji atau memeluk ajaran Islam. Selanjutnya, ketika agama ini kian berkembang, di tiap-tiap desa yang penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan langgar atau masjid. Fasilitas tersebut bukan hanya sebagai tempat shalat saja, melainkan juga tempat untuk belajar membaca al-Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat elementer lainnya.
Metode pembelajaran adalah sorogan (murid secara perorangan atau bergantian belajar kepada guru) dan halaqah atau wetonan (guru mengajar sekelompok murid yang duduk mengitarinya secara kolektif atau bersama-sama). Mereka yang kemudian berkeinginan melanjutkan pendidikannya setelah memperoleh bekal cukup dari langgar/masjid di kampungnya, dapat masuk ke pondok pesantren. Secara tradisional, sebuah pesantren identik dengan kyai (guru/pengasuh), santri (murid), masjid, pemondokan (asrama) dan kitab kuning (referensi atau diktat ajar).
Sistem pembelajaran relatif serupa dengan sistem di langgar/masjid, hanya saja materinya kini kian berbobot dan beragam, seperti bahasa dan sastra Arab, tafsir, hadits, fikih, ilmu kalam, tasawuf, tarikh dan lainnya. Di pesantren, seorang santri memang dididik agar dapat menjadi seorang yang pandai (alim) di bidang agama Islam dan selanjutnya dapat menjadi pendakwah atau guru di tengah-tengah masyarakatnya.
Ada beberapa ciri – ciri Pendidikan pada zaman pengaruh Islam, diantaranya:
a. Pendidikan Bersifat Religius
b. Guru/Penajar tidak Mendapat Bayaran
c. Pendidikan Islam Bersifat Demokratis
C. Pendidikan Zaman Pendudukan Asing
1. Kedatangan Orang Portugis
Portugis pertama kali singgah di Malaka tahun 1509 M setelah sebelumnya menaklukkan kerajaan Goa di India. Ini berarti Portugis hadir di Indonesia hampir satu dekade setelah Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak di pulau Jawa. Tahun 1511 M Malaka sudah dapat dikuasai oleh Portugis di bawah Afonso de Albuquerqe (1459-1515 M). Dua tahun kemudian, Pati Unus putra Raden Patah memimpin armada menyerang kekuasaan Portugis di Malaka, tetapi berakhir dengan kegagalan. Berikutnya Portugis bergerak untuk menguasai daerah rempah-rempah yang berpusat di Maluku (berasal dari istilah bahasa Arab: Jazirat al-Mulk, yakni kepulauan raja-raja). Ketika Portugis menjejakkan kakinya di Maluku, seperti diutarakan oleh Russell Jones, Islam telah mengakar di kalangan penduduk setempat sekitar 80 tahun.
Praksis pendidikan pada masa Portugis ini secara mendasar dikerjakan oleh organisasi misi Katholik Roma. Baru pada tahun 1536, di bawah Antonio Galvano, penguasa Portugis di Maluku, didirikan sekolah seminari yang menerima anak-anak pemuka pribumi. Selain pelajaran agama, mereka juga diajari membaca, menulis dan berhitung. Sekolah sejenis dibuka di Solor dimana bahasa Latin juga diajarkan kepada murid-muridnya. Mereka yang berkeinginan melanjutkan pendidikan dapat pergi ke Goa – India yang ketika itu merupakan pusat kekuatan Portugis di Asia. Perkembangan pendidikan di zaman Portugis ini dapat dinyatakan berpusat di Maluku dan sekitarnya, sebab di daerah-daerah lain kekuasaan Portugis kurang begitu mengakar.
2. Zaman VOC
Pada tahun 1596 Belanda pertama kali mendarat di teluk Banten di bawah Cornelius de Houtman. Kemudian mereka menelusuri ke Timur Banten, sehingga sampai di Jayakarta, dirubah namanya menjadi Batavia, dan pada tahun 1602 di dirikanlah suatu perkumpulan dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selanjutnya keluarga Belanda membutuhkan pendidikan, baik pendidikan umum (pengetahuan umum maksudnya) maupun pengetahuan khusus, dan sebagai perkumpulan dagang VOC membutuhkan tenaga pembantu dari bumi putra, maka mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan.
a. Dasar dan Tujuan Pendidikan
Sebagai perusahaan dagang, wajarlah VOC memiliki tujuan komersial. Pada abad 17 dan 18 di Negeri Belanda segala kegiatan yang menyangkut pendidikan dilaksanakan oleh lembaga keagamaan. Pemerintah tidak ikut campur dalam penyelenggaraannya, sehingga Gereja memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan pendidikan. Namun di Indonesia VOC tidak menginginkan Gereja (lembaga keagamaan) memiliki wewenang yang besar dalam mengatur masyarakat di daerah-daerah yang mereka kuasai. Sehingga kegiatan Gereja merupakan bagian dari kegiatan VOC. Jadi perluasan agama Kristen Protestan dilaksanakan oleh VOC sendiri, sesuai dengan intruksi tahun 1617 kepada Gubernur Jenderal dan Raad Van Indie diantaranya supaya VOC memperkembangkan agama Kristen dan mendirikan sekolah-sekolah untuk membendung agama Katholik (M. Said, 1981). Sekolah tersebut dibiayai VOC untuk dijadikan persemaian agama Protestan.
Karena pendidikan dilaksanakan oleh kalangan Gereja, walaupun mereka sebagai pegawai VOC, yang menjadi dasar pendidikan adalah agama Kristen Protestan. Adapun yang menjadi tujuan pendidikan adalah:
1) Untuk mengembangkan ajaran Kristen Protestan
2) Pendidikan yang diberikan kepada bumi putra untuk mendapatkan tenaga pembantu yang murah, yang dapat dikerjakan di VOC.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan Dasar Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.
2. Sekolah Latin Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.
3. Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari) Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunanu dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
4. Academie der Marine (Akademi Pelayanan) Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
5. Sekolah Cina 1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.
6. Pendidikan Islam Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
3. Pemerintahan Hindia Belanda
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya.
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.
Secara formil, pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa sekolah di Jawa sejak kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di Jatinegara, sekolah pelayaran (1808) di Semarang, sekolah bidan (1809) di Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di Cirebon.
Daendels ini juga dikenal sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para bupati agar mengusahakan pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi. Janssens yang menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di bidang pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik dari kerajaan Inggris. Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di bawah Raffles. Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong sangat berminat melakukan eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya intelektual yang cukup monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah Sumatera, kamus Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden, Java Government Gazette yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani oleh Horsfield, dan juga kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-karya tersebut memberi kontribusi signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di Indonesia. Masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi titik tolak baru bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia.
Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan. Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade (1883-1892).
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”.
Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah:
1. Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan;
2. Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial.
Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan Bumiputera; dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1) Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahaan diatas tadi, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah mengalami beberapa macam/beberapa contoh pendidika yaitu:
Ø Pada masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India.
Ø Inti Ajaran Islam adalah meliputi : Islam Sebagai Ajaran Tauhid, Manusia adalah Sama disisi Allah SWT, dan Iman, Islam dan Ikhsan.
Ø Pendidikan Zaman Pendudukan Asing
Ø Kedatangan Orang Portugis
Ø Zaman VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)
Ø Pemerintahan Hindia Belanda
B. Saran
Pada akhirnya, penyusun menyarankan dalam mengambil sumber reverensi, tidak hanya satu atau dua sumber saja, karena tiap sumber kadang sering banyak perbedaannya, itu semua karenasupaya ada perbandingan antara sumber yang satu dengan yang lainnya, dan juga untuk memperkuat teori.
kritik dan saran senantiasa penyusun harapkan demi kesempurnaannya penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen MKDP. (2009). Landasan Pendidikan. Bandung: (tidak diterbitkan).
http://dyahrochmawati08.wordpress.com/2008/11/30/landasan-historis-pendidikan-di-indonesia/
Tidak ada komentar :
Posting Komentar